Minggu, 31 Agustus 2014

Uji Nyali Di Stadion Utama Glora Bung Karno

Kamis, 14 Agustus 2014, Stadion Utama Glora Bung Karno.

Enatah dari mana ku harus memulai tulisan ini?

Lidahku terasa kelu.

Jari-jemariku seakan terpaku.

Pikiranku mendadak membeku.

Anganku-pun terbang melayang meninggalkan hati yang bak tersyarat sembilu.

Bagi masyarakat pecinta sepakbola Indonesia, mungkin laga antara PERSIJA dan PBR yang di gelar pada kamis malam hari tersebut, hanyalah sebuah laga biasa, layaknya laga-laga Liga Super Indonesia yang lain.
Partai ini bukanlah partai klasik, sebuah gengsi atau sarat rivalitas layaknya PERSIJA melawan persib, atau mungkin Arema melawan persebaya.

Namun bagi saya dan pendukung PERSIJA JAKarta (the JAKmania) pertandingan tersebut jelas bukan menjadi sebuah partai biasa.
Pertandingan tersebut menjadi syarat emosi penuh nostalgia yang membuat ikatan batin di antara kami harus terputus untuk sementara waktu.
Terlebih lagi drama itu terjadi di Stadion Utama Glora Bung Karno, sebuah tempat yang akan selalu saya anggap sebagai rumah saya sendiri.

Tidak ada satu kalimat-pun yang mampu menggambarkan apa yang saya rasakan malam itu.
Saya sadar jika bagi sebagian orang, apa yang terjadi pada malam itu meninggalkan luka dan kekecewaan.
Pada akhirnya memang tidak semua orang mengerti dengan apa yang sedang terjadi kala itu.
Dan sebagai pribadi saya juga tidak ingin meminta mereka untuk memahami.

Saya tumbuh dan besar dengan semangat MACAM KEMAYORAN.
Stadion Menteng, dan GOR Ragunan telah membentuk karakter saya, menjadi seorang pemain yang pantang menyerah, dan selalu berusaha memberikan kemampuan terbaik saya dalam setiap kesempatan .

Selama lebih dari satu dekade, saya terbiasa untuk melakukan setiap tugas dan kewajiban saya, baik di dalam maupun di luar lapangan, dengan sepenuh hati.
Memberikan 100% komitmen terhadap setiap apa yang saya kerjakan atas nama profesi, sudah mendarah daging di dalam diri saya.
Dan dengan Etos kerja seperti itulah, saya pernah di beri kehormatan untuk menjadi komandan pasukan elit "BARET OREN" dari Ibu Kota.

Semangat dan karakter itu akan terus ada, dan saya bawa kemanapun saya pergi.
Apa yang tersaji malam kemarin hanyalah sebuah rutinitas.
Gambaran perwujudan begitu besarnya Loyalitas dan Totalitas saya terhadap sebuah Profesi yang sangat saya cintai.

Bukan sebagai penegas atau menujukan pembuktian terhadap sesuatu.
Karna untuk kesekian kalinya saya harus berkata, bahwa saya tidak perlu membuktikan apapun kepada siapapun.
Seperti apa yang selalu saya tekankan, bahwa saya tidak akan pernah menghianati profesi saya.

Karena yang membedakan seorang pejuang dengan pecundang adalah keberanian untuk mencoba, keberanian untuk selalu berusaha, dan keberamian untuk menghadapi segala tantangan dengan apapun keadaannya.

Mengenai apa yang terjadi pada 90 menit di atas lapangan, sejujurnya saya tidak ingin berkomentar sama sekali.
Ketila pluit akhir di bunyikan maka selesai juga tugas dan kewajiban saya sebagai seorang pemain.
Saya akan meninggalkan segala drama dan kontroversi yang terjadi di belakang.

Anda sekalian berhak untuk berpendapat.
Pendapat itu tidak harus sama.
Tidak juga harus dalam kesepahaman.
Karna di situlah letak luarbiasanya olah raga yang bernama sepakbola.
Sebuah olah raga yang penuh syarat dan emosi, kontroversi dan juga misteri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar